Phytovac: Immunoinformatics Design of Virus Like Particle-linked Dengue Vaccine for Expression in Nicotiana benthamiana System

Desain

Hasil

Future Work

Referensi

https://i.giphy.com/media/v1.Y2lkPTc5MGI3NjExYmVjdTFyaHNibjFtY29hcm00d2x0ejlsdzZldTI5MWgzdnNnZ3ZqOCZlcD12MV9pbnRlcm5hbF9naWZfYnlfaWQmY3Q9Zw/3TZgJXiwbdbLG/giphy.gif

https://indify.co/widgets/live/clock/SltFhQV2rL5pEHSE9Dtw

Navigasi Background

Penyakit dengue

Penyakit dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dengue (DENV) dan diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai salah satu patogen dengan tingkat keparahan yang tinggi serta dampak yang luas. Dengue terjadi terutama di wilayah tropis dan subtropis. Penyakit ini dapat memanifestasikan dirinya dalam beberapa bentuk klinis yang bervariasi, seperti demam dengue (DF), demam berdarah dengue (DBD), dan sindrom syok dengue (DSS). Berdasarkan laporan WHO, lebih dari 50 juta orang berisiko terpapar infeksi ini setiap tahunnya, dengan sekitar 500.000 kasus yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit dan lebih dari 25.000 kasus yang berakhir dengan kematian. Angka-angka tersebut menegaskan bahwa dengue bukan hanya menjadi tantangan kesehatan masyarakat di wilayah endemik tetapi juga membutuhkan perhatian global. Tingginya resiko infeksi dengue menegaskan bahwa dengue bukan hanya menjadi tantangan kesehatan masyarakat di wilayah endemik tetapi membutuhkan perhatian global. Lebih lanjut, infeksi sekunder dapat memicu fenomena antibody-dependent enhancement (ADE), yang berpotensi meningkatkan keparahan infeksi. Oleh karena itu, pengembangan vaksin yang efektif memerlukan pendekatan yang mampu merangsang respons imun yang seimbang terhadap keempat serotipe untuk meminimalkan efek samping dan meningkatkan efektivitas vaksin. Salah satu tantangan utama dalam pengendalian dan pencegahan dengue adalah variasi genetik yang tinggi pada virus dengue.

3.png

Gambar 1. Tantangan Pengendalian dan Pencegahan Dengue

Variasi serotipe ini menjadi hambatan dalam pengembangan vaksin yang efektif karena kekebalan yang diperoleh terhadap satu serotipe tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap serotipe lain.

(Ullah et al., 2024)

Terapi Vaksin yang Sudah Digunakan

Subtitle (2).png

Gambar 2. Desain Dengvaxia, TV003/TV005, dan Tak-003/DENvax (Torres-Flores et al., 2022)

Terdapat dua vaksin yang sudah mendapat persetujuan WHO dan mampu memberikan kekebalan terhadap empat serotipe dengue yakni Dengvaxia dan TV003/TV005. Kekurangan 2 vaksin tersebut : Efektivitas rendah, perlindungan berkurang, dan peningkatan antibody-dependent enhancement (ADE). Efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antar serotipe. Dengvaxia memberikan perlindungan terendah terhadap DENV-2 dan tertinggi terhadap DENV-4, sementara TV003/TV005 kurang efektif terutama pada DENV-2 dan DENV-3.

Protein E (Envelope)

Vaksin virus dengue (DENV) yang selama ini telah beredar umumnya diproduksi dari live-attenuated vaccine. Metode tersebut dapat menimbulkan kelainan respon imun protektif akibat tidak diidentifikasinya antigen protektif secara spesifik. Solusinya adalah vaksin subunit yang menggunakan protein antigen spesifik dan imunogenik.

Dari tiga protein antigen utama DENV (protein capsid/C, protein membran/M, dan protein envelope/E), protein E memiliki potensi terbaik. Hal ini karena perannya yang krusial dalam proses infeksi, pengenalan oleh sistem imun, dan tingkat variabilitas yang tinggi di seluruh serotipe DENV (DENV1–DENV4).

Protein E pada permukaan virus terdiri dari 180 molekul yang tersusun sebagai homodimer dan terbagi menjadi tiga bagian utama: ED1, ED2, dan ED3. Bagian ED3 sangat penting karena mengandung epitop netralisasi, yaitu bagian spesifik antigen yang dikenali antibodi untuk menghentikan infeksi virus. Dengan mengikat epitop ini, antibodi dapat mencegah virus menginfeksi atau merusak sel inang, menjadikan protein E komponen kunci untuk vaksin yang efektif melawan berbagai serotipe DENV.

https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeK6DskzSGSpxkdbqJJEPUA5p_j9Ul_quTKtWqITjKSnqwmSkXFRzP7RraA7VkOOpyXdvnQzk2_7RPHWBdmaFSs0cGRSGIh-em_9hIjmiE8yTRmPqYDPU4l7YSAhwfXoAxDjrn2?key=-POonY_7r8-hhKKD3mpIoz8j

Gambar 3.  Analisis lanskap poliprotein pada DENV (Saha et al., 2024).

Penggunaan Tanaman untuk Produksi Vaksin secara Molecular Farming

6.png

Gambar 4. Kelebihan Penggunaan Tanaman sebagai Bioreaktor Vaksin

Penggunaan tanaman untuk produksi molekul terapeutik memiliki beragam keuntungan. Salah satu pemanfaatannya adalah untuk menghasilkan vaksin secara molecular farming. Molecular farming adalah konsep penggunaan tanaman untuk menghasilkan produk protein rekombinan (Fischer dan Buyel, 2020). Produksi vaksin melalui metode molecular farming menawarkan alternatif yang menjanjikan dibandingkan produksi menggunakan metode lain seperti hewan dan kultur bakteri. Hal ini dikarenakan produksi via tumbuhan dapat dengan mudah ditingkatkan skala produksinya serta terbebas dari toksin dan alergen yang dapat muncul.

Meskipun demikian, salah satu masalah bagi metode molecular farming adalah rendahnya yield yang dihasilkan oleh tumbuhan. Produksi protein rekombinan pada tumbuhan umumnya hanya mendapatkan yield sebesar 100μg/gram tanaman. Hal ini dikarenakan banyak hal, antara lain: rendahnya jumlah transkrip, ketidakstabilan protein rekombinan, perbedaan sistem ekspresi antara insert dengan ekspresi tumbuhan, dan ketergantungan terhadap kondisi lingkungan (Schillberg and Finnern, 2021)

Salah satu solusi untuk meningkatkan yield produksi protein pada tumbuhan adalah dengan menggunakan virus tumbuhan yang direkayasa sebagai pembawa protein yang akan diekspresikan. Ekspresi dengan metode ini diketahui dapat meningkatkan yield rekombinan hingga mencapai 1-50 mg/gram jaringan, peningkatan sebesar 10-500 kali dibandingkan metode tanpa virus rekombinan (Jones et al., 2013). Namun, produksi vaksin menggunakan virus rekayasa juga memiliki kelemahan tersendiri. Produksi virus yang berlebihan akan menyebabkan nekrosis jaringan tumbuhan. Oleh karena itu, produksi vaksin via virus rekayasa hanya bisa dilakukan secara transien (vaksin hanya diekspresikan secara sementara di jaringan/organ tertentu), sehingga apabila produksi ingin dilakukan dalam skala besar, perlu dilakukan transfeksi secara berulang menggunakan Agrobacterium tumifaciens, yang dapat meningkatkan biaya produksi. Selain itu, keberadaan elemen virulensi virus seperti replicase dan movement protein yang berfungsi untuk membantu produksi vaksin membuat virus like particle (VLP) yang dihasilkan bersifat infeksius. Hal ini membuat munculnya risiko biosafety yang dapat berakibat fatal apabila virus tumbuhan ini tersebar ke lingkungan.

Penggunaan Tanaman Nicotiana benthamiana untuk produksi vaksin

Subtitle (3).png

Terdapat berbagai tanaman yang dapat digunakan sebagai chasis dalam produksi vaksin secara molecular farming. Masing-masing **tanaman tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Salah satu tanaman yang potensial untuk digunakan adalah tanaman Nicotiana benthamiana. Tanaman N. benthamiana memiliki beberapa keunggulan sehingga banyak dimanfaatkan dalam produk biofarmasetis seperti kecepatan pertumbuhan yang tinggi, kemampuan alami untuk mengekspresikan urutan gen heterolog, bukan tanaman pangan (tidak perlu dihasilkan dalam jumlah banyak untuk kegunaan lain), fleksibilitas metabolisme yang baik, serta produksi biomassa yang tinggi (Goulet et al., 2019; Molina-Hidalgo et al. 2021).

Pada akhirnya kami memilih Tobacco Mosaic Virus (TMV) sebagai virus rekayasa kami dikarenakan banyaknya literatur yang mendukung stabilitas ekspresi vaksin berbasis virus tersebut pada berbagai chassis tumbuhan dan ukuran antigen. Selain itu, sekuens TMV juga sudah dikompilasi dengan data ekspresi yang baik pada Registry Part iGEM.

Gambar 5. Berbagai Jenis Tanaman yang Dapat Digunakan untuk Molecular Farming